Tidak salah bila orang awam menanganggap bahwa musik jazz di Indonesia masih merupakan barang mahal dan elit. Lihat saja realitanya. Saat ini jarang sekali ditemui pertunjukan musik jazz di Indonesia. Kalaupun ada, pertunjukan itu cenderung berlangsung di kafe-kafe atau di hotel berbintang. Mereka yang menikmati adalah kaum borjuis. Event-event jazz juga tidak banyak dilangsungkan, paling-paling hanya JakJazz dan Java Jazz yang diselenggarakan setiap tahun. Hampir tidak ada pertunjukan seperti Luluk Purwanto & The Helsdingen Trio dengan Stage Bus-nya. Show semacam itulah yang sebenarnya adalah The Real Jazz Show yang bersemangatkan kebersamaan dan universalisme.
Musik jazz dianggap elit karena memang tidak banyak penggemarnya. Untuk benar-benar memahami musik jazz juga diperlukan waktu untuk belajar yang cukup lama. Maka cenderung yang menyukai musik jazz adalah orang-orang dari latar belakang pendidikan, seperti mahasiswa dan kalangan akademis lainnya. Tetapi bukan berarti musik selain jazz hanya dinikmati oleh kaum yang tidak terpelajar. Setiap orang dapat menikmati musik jazz.
Salah satu sebab mengapa musik pop atau rick lebih banyak disukai orang adalah karena jenis musik tersebut dapat dengan mudah dihapal. Berbeda dengan musik jazz yang sangat universal. Musik jazz juga bagaikan puisi yang harus diapresiasikan terlebih dahulu untuk dapat dinikmati. Dengan mudah dihapal, orang tidak sulit lagi untuk menikmati musik rock atau pop.
Menjadikan musik jazz bukan sebagai musik yang elit terutamanya adalah melalui sosialisasi. Sosialisasi adalah proses untuk membiasakan orang mendengar dan lebih mengenal musik jazz. Sosialisasi tersebut dapat melalui berbagai bentuk seperti kaset, CD, LD, VCD, majalah, buku dan berbagai macam literatur lain. Sosialisasi harus dilakukan secara rutin dan terus menerus, jangan sampai berhenti ditengah jalan. Sebab sosialisasi juga merupakan proses belajar yang tidak dapat dilakukan sepotong demi sepotong.
Dilema yang terjadi di Indonesia bahwa menikmati musik jazz dijadikan sebagai gaya hidup atau pola hidup seseorang. Ada kalangan tertentu yang terpaksa mendengar musik jazz hanya agar dipandang sebagai kaum borjuis. Hal inilah yang sering terjadi pada kafe-kafe atau pub. Di satu pihak mereka memang melakukan sosialisasi jazz, tetapi di sisi lain mereka menjual gengsi dengan musik jazz sebagai perantaranya. Sosialisasi semacam itu justru merusak citra jazz sebagai musik yang berdimensi pembebasan dan jauh dari kesan glamour.
Demikian pula dengan media sosialisasi yang lain seperti kaset, CD dan VCD. Banyak orang yang sebenarnya ingin tahu lebih jauh tentang musik jazz melalui kaset. Tetapi dilemanya, musik-musik jazz banyak yang hanya terdapat dalam CD yang tentu saja lebih mahal harganya. Hal-hal semacam inilah yang menjadikan musik jazz dianggap sebagai musik yang membutuhkan biaya mahal.
Keberadaan radio-radio jazz seperti ARH FM di Jakarta, KLCBS di Bandung dan JASS di Garut sangat membantu sosialisasi musik jazz di Indonesia. Maka diharapkan juga semakin banyak frekuensi acara-acara musik jazz di radio atau bahkan di televisi. Untuk melaksanakan ide tersebut tentu saja membutuhkan biaya besar dan sedikit kenekatan mengingat keberadaan musik jazz di Indonesia sebagai minoritas.
Dibandingkan dengan musik rock, musik jazz jauh lebih tua. Tetapi kepopulerannya dirasakan kurang. Itulah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Dengan melalui sosialisasi, musik jazz tetap sulit untuk menjadi mayoritas tetapi setidaknya masyarakat mengetahui apa itu jazz.
Untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat seluas-luasnya, maka sosialisasi yang dilakukan juga harus merakyat. Artinya sosialisasi dilakukan dengan melihat komposisi, keadaan dan perilaku masyarakat itu sendiri. Untuk keadaan di Indonesia saat ini, musik jazz-lah yang seharusnya mendekati masyarakat terlebih dahulu. Bila sosialisasi berhasil, maka keadaan di atas akan berbalik dengan sendirinya (masyarakat akan mencari jazz).
0 Komentar:
Posting Komentar